Opini
Sadar atau tidak masyarakat kini semakin terbawa oleh peran media, baik yang kategori citizen jurnalism atau media arus utama maupun media mainstreem, yakni antara media idealisme melawan media pembawa golongan. Tidak perlu di sebutkan beberapa nama pengusaha yang yang masuk menjadi jajaran tokoh politik memiliki peranan media, baik itu cetak, online maupun elektronik, seperti stasiun Televisi mengajari untuk berpihak kearah satu tujuan dan goreng menggoreng pun di lakukan guna mematikan lawan, aneh dan lucu memang mereka mengajari rakyat sedemikian buruk.
Inilah penyakit kronis dunia Pers yang harus kita bahas, jangan sampai timbul berita hoax, jika benar di katakan hoax begitu sebaliknya jika hoax di katakan benar. Vox Populi Vox Dei dimana suara rakyat adalah suara Tuhan, haruskah kita terjerat dan terbawa dengan hal semacam itu??
Apa benar media sebagai pengawal Demokrasi?? Pertanyaan ini sangat menarik dan membuat kalangan publik menjadi gelisah, dimana hoax di ciptakan untuk menutupi berita hoax yang ada. Jadi masyarakat luas pun bebas beropini di ruang publik seperti beberapa group aplikasi seperti Facebook, Twitter, IG dan sebagainya.
Rakyat seperti bebas menghakimi berita yang ada, inilah persegeseran arus media. Media independen melawan media pesanan dengan terang benderang berafiliasi dengan golongan tertentu. Hingga masyarakat pun bebas berkelompok dengan istilah cebong dan kampret sebagai identitas pendukung.
Berbicara soal Pilpres kali ini, yang akan di laksanakan, Rabu 17 April 2019 dari Pukul 07.00 WIB hingga 13.00 WIB, sekaligus ada 5 item, yakni Pileg DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI dan Pilpres yang akan bersuara di dalam kardus. Banyaklah isu goreng menggoreng isu politik. Di sini saya pribadi sangat sedih dan miris, sebagai jurnalis kita tertantang untuk berbuat obyektif, jangan ajari rakyat kita dengan suguhan goreng menggoreng.
Hal yang tidak penting di hiperbolakan hingga muncul pula meme-meme sarkasme yang saling menyudutkan. Rakyat bersikap seperti politikus di mana ruang publik di jadikan ajang debat dan saling menghujat, wahai pemilik media arus utama yang condong ke golongan jangan ajari rakyat untuk saling membenci, saling klaim kebenaran, biarkan suara rakyat mengalir dengan bebas.
Untuk itu saya secara pribadi bertanya, dimana letak obyektifitas seorang jurnalis?? haruskah ikut-ikutan goreng menggoreng agar nilai jual media bisa lebih?? Atau bersikap netral dan apa adanya?? Hingga di sudutkan menjadi pewarta berita yang condong ke oposisi?? Mari kita tela’ah agar tidak salah jalan.
Jadilah media yang bersifat independen, lebih terhormat menjaga idealisme dan bersikap kritis daripada menjual pencitraan seseorang, dengan menipu rakyat, mendzolimi rakyat, sikap ini haruslah diamputasi dan di marjinalkan. Agar demokrasi kita tidak dehidrasi dan terkena virus yang mematikan Demokrasi, Wahai siapapun yang berkuasa saya berpesan janganlah kau kotori dengan tangan kotormu untuk menipu rakyat, biarlah media bisa berkata benar jika benar dan salah jika salah.
Jangan sampai noda politik itu muncul dari opini-opini dan nilai-nilai para editor, wartawan, dan penyiar?, atau hanya penyelarasan yang lebih umum antara kepentingan-kepentingan dari media massa dan kepentingan-kepentingan elite politik, ekonomi dan sosial, sulit melihat bagaimana tugas media untuk menyediakan informasi yang objektif dan tetap memegang kuat prinsip-prinsip layanan publik dapat dianggap layak dan konsisten dalam praktiknya.
Sebuah penekanan yang perlu adalah diarahkan pada implikasi-implikasi dari kepemilikan media, dan fakta bahwa pandangan-pandangan dan kepentingan dari suatu golongan dan para pemilik media besar, pada asas tertentu mempengaruhi out put media. Sejauh media massa dapat mempengaruhi agenda politik, agenda ini akan cenderung konservatif dan paling tidak cocok atau selaras dengan kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok yang dominan dalam masyarakat.
Dalam buku politik edisi keempat karya Andrew Hywood, adalah ketika media massa tidak memiliki akuntabilitas publik, ia menjadi contoh klasik dari “kekuasaan tanpa tanggung jawab”. Betapapun baik dan menariknya pandangan-pandangan daripada jurnalis dan penyiar, dan betapapun bersemangatnya mereka, akan menggambarkan diri mereka sebagai “suara rakyat”. Para profesional media tidak seperti para politisi yang terpilih melalui pemilihan, tidak mewakili siapapun kecuali diri mereka sendiri, dan tidak memiliki landasan yang bermakna untuk mengklaim bahwa mereka berkepentingan untuk menyuarakan opini publik.(***)
Penulis Aktif di AWPI ( Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia)