Mantan Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Petrus, Yosep Adi Prasetyo sempat menceritakan nasib para preman di era Soeharto. Menurut Yosep Adi Prasetyo, nasib para preman di era Soeharto sempat tak tenang saat Benny Moerdani diangkat menjadi panglima ABRI dan panglima Kopkamtib pada Maret 1983
Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan kalau Benny Moerdani mengadopsi metode yang pernah digunakan di Yogyakarta, dan berdampak pada nasib para preman di era Soeharto
“Operasi dilanjutkan dan lebih sadis lagi. (Metode) yang di Yogyakarta diadopsi oleh Benny” kata Yosep Adi Prasetyo, dikutip dari buku ‘Benny Moerdani Yang Belum Terungkap’, Tempo, PT Gramedia 2015. Yosep Adi Prasetyo juga mengungkapkan hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan kalau pelaksana Petrus diduga adalah pasukan dari pusat
“Mereka memakai topeng dan berpakaian hitam-hitam, mereka menjemput sasarannya pada tengah malam dengan menggedor rumahnya. Kalau orangnya keluar, dia dieksekusi di depan keluarganya” kata Yosep Adi Prasetyo
Masih ada metode lain, yaitu menghilangkan target. Tim eksekutor membawa target ke suatu tempat, kemudian membunuh dan membuangnya di tempat lain.
Seperti diketahui, saat itu aparat keamanan memang sedang dibuat gerah oleh maraknya aksi preman jalanan yang populer dengan sebutan gabungan anak liar (gali).
Lantas Polri melancarkan Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 penjahat. Meski sudah banyak penjahat yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut.
Di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi, Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) untuk memberantas para preman
Untuk memberikan efek jera terhadap preman yang terus saja berbuat kejahatan, tim OPK biasanya melakukan penangkapan atau penggerebekan secara mendadak ala serbuan pasukan komando.
Para preman yang tertangkap bisa langsung dieksekui atau kemudian dimasukkan karung dalam kondisi hidup lalu dibawa pergi ke suatu tempat sepi menggunakan mobil dan baru dieksekusi.
Setelah itu, mayat para preman itu dilempar begitu saja di pinggir jalan yang berada di tengah hutan.
Masih dari sumber yang sama, aksi tim OPK ini pernah disaksikan sendiri oleh seorang mantan preman asal Semarang, Jawa Tengah bernama Bathi Mulyono.
Bathi (1983) merupakan preman yang sudah terdata oleh aparat keamanan setempat dan sudah rutin menjalani wajib lapor tapi ternyata masih diburu tim OPK.
Untuk menghindari tim OPK yang terus memburunya, Bathi memutuskan menyelematkan diri dan bersembunyi di kawasan Gunung Lawu hingga pertengahan 1984.
Suatu kali karena ada keperluan, Bathi turun gunung melalui Blora dan bermaksud ke Rembang.
Sewaktu Bathi hendak balik lagi ke Blora, hari sudah pukul 21.00 WIB dan sama sekali tidak ada angkutan umum.
Lalu Bathi memutuskan menyetop kendaraan pengangkut sayur untuk menumpang, karena biasanya kendaraan seperti itu memang mau membawa warga yang sudah kemalaman di jalan.
Jalur antara Rembang-Blora banyak melintasi hutan-hutan jati yang sepi dan makin malam kendaraan yang melintas juga sangat jarang.
Ketika ada mobil pick up pengangkut sayur melintas dan mau berhenti, Bathi segera naik di bak mobil yang terdapat sekitar tujuh karung penuh barang.
Bathi terkejut karena beberapa orang di dalam bak mobil membawa senjata laras panjang dan pistol jenis FN yang biasa digunakan tentara. Tapi yang membuat Bathi lebih terkejut, salah seorang bersenjata itu tiba-tiba menegurnya untuk tidak menduduki karung karena berisi manusia.
Bathi terkesiap dan jantungnya berdetak kencang ternyata karung-karung itu berisi para preman yang akan dieksekusi.
Bathi yang menyadari dirinya sedang berada di tengah para tim OPK yang sebenarnya juga terus memburu dirinya berusaha bersikap tenang.
Untung saja wajahnya tegangnya tersamar oleh gelapnya malam yang tanpa terang bulan itu.
Sepanjang perjalanan Rembang-Blora di tengah hutan jati yang sepi sejumlah karung diturunkan lalu dihujani tembakan dan karung yang bersimbah darah digelundungkan ke hutan.
Karung-karung berisi para preman itu terus diturunkan pada jarak tertentu lalu ditembak dan kemudian di lempar ke dalam hutan.
Bathi terpaksa turun di sebuah warung di pinggir jalan karena mobil pick up pengangkut sayur itu ternyata tidak ke Blora.
Untuk melindungi dirinya dari kejaran OPK, Bathi juga sempat menghadap Ali Moertopo, mantan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara.
Namun pengaruh Ali Moertopo meredup dan Benny Moerdani muncul dengan gebrakannya itu
Bathi sempat mendapat selembar ‘surat jaminan’ dari Ali Moertopo agar tidak dibunuh
Namun Bathi masih belum merasa aman dan terus berpindah-pindah tempat sampai ke Malaysia, Singapura dan Brunei
“Saya punya paspor lima dengan nama yang berbeda-beda” kata Bathi
Sumber: surya.co.id