Lintasindonews.com, Sragen – Sebanyak 89,5 persen dana desa dibelanjakan secara konvensional bagi pembangunan infrastruktur. Konsekuensinya, Rp 17 triliun kucuran negara sekadar berperan sebagai tambahan pemasukan senilai Rp 24 triliun pendapatan desa tahun 2015.
Sayang, hingga sejauh ini dana desa belum dikapitalisasi untuk meningkatkan aset pemerintah desa dan kesejahteraan warga.
Indikasinya, dana desa memenuhi 40 persen anggaran pendapatan desa, tetapi menurunkan pendapatan asli desa (PAD) dari 15 persen menjadi 9 persen.
Sebenarnya, UU No 6/2014 tentang Desa menyediakan badan usaha milik desa (bumdes) sebagai instrumen pemerintah desa guna mengelola pendapatan secara produktif. Bercermin pada masa keemasan PAD rata-rata 80 persen pada 1970-an, tidak berlebihan untuk berharap kucuran lengkap dana desa tahun lalu sebesar Rp 1,4 miliar per desa akan mengembangkan PAD sampai Rp 6 miliar di setiap desa pada tahun berikutnya.
Diinisiasi melalui Peraturan Mendagri No 39/2010, dasar legal penyusunan bumdes kini didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 4/2015. Namun, yang menggelitik, redaksi pada Pasal 34 peraturan menteri ini sampai menghapus peraturan mendagri sebelumnya.
Padahal, kedua peraturan tersebut setara secara hukum.sementara peraturan lama mengharuskan pendirian bumdes berbasis peraturan daerah, pada aturan terkini cukup didasarkan pada peraturan desa (perdes). Di satu sisi, kemudahan pendirian berpotensi menyuburkan bumdes.
Namun, perdes bukanlah basis legalitas badan hukum untuk berbisnis sehingga menyulitkan akuntabilitas kerja sama dengan pihak ketiga, termasuk kala badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD) dan swasta berminat menyertakan modal ke dalamnya.
Beranalogi BUMD sebagai instrumen pemerintah daerah dan BUMN sebagai perangkat pemerintah pusat, bumdes diarahkan menjadi tangan korporasi bagi pemerintah desa. UU No 6/2014 menuliskan, bumdes milik pemerintah desa karena didirikan melalui peraturan desa dan dimodali dari APB Desa. PP No 43/2014 juga menempatkan kepala desa sebagai pembina bumdes, sementara pengelolanya wajib berada di luar pemerintahan agar terhindar dari kolusi otokrafif.
Menguntit hal tersebut Sumpeno Kades Kedawung Kecamatan Mondokan Kabupaten Sragen, berkeinginan segera memiliki BUMDes untuk tahun ini dengan harapan bisa menanggulangi kemiskinan di desanya. Dia berharap semua perijinan maupun badan hukum bisa segera terwujud. ” Kami sudah mempersiapkan para pengurus yang berasal murni dari masyarakat, di kelola pula oleh masyarakat kelak kami akan memberdayakan sepenuhnya untuk masyarakat , ” jelas Sumpeno. Masih apa kata dia, kedepan desa kedawung bergerak di bidang perternakan dan pertanian.
Dengan menyediakan obat-obatan ternak baik sapi maupun ikan dan unggas, serta menyiapkan pembibitan padi invago yakni jenis padi tahan lahan kering. ” Selanjutnya masih di bidang pemberdayaan tahun ini kami masih mengagarkan untuk jambanisasi dan rehab bedah rumah untuk penduduk, ” katanya. Saat di tanya apa harapan kedepan untuk desa kedawung, Sumpeno berharap desa kedawung bisa menjadi desa yang berkembang dan mandiri, berhubung desa kedawung sangat kondusif, tentram dan damai seperti cita – cita bumi sukowati guyub rukun bangun desa. ( NN )
Kontributor : Tim lintas
Editor : Eka Awi