![]()
OPINI, Generasi Z tumbuh dalam lanskap digital yang cair, cepat, dan penuh informasi. Mereka mengenal Soeharto bukan dari pengalaman hidup, melainkan dari fragmen video di media sosial, buku pelajaran sejarah, atau perdebatan di ruang publik yang tak pernah benar-benar usai. Bagi mereka, Soeharto bukan figur yang hadir, melainkan wacana yang diwariskan.
Namun justru karena jarak itulah, Gen Z memiliki keistimewaan: mereka dapat membaca Soeharto tanpa beban nostalgia dan tanpa luka sejarah. Tidak ada memori tentang stabilitas harga sembako atau pembatasan politik. Tidak ada pengalaman langsung terhadap euforia pembangunan atau represi kebebasan. Yang ada hanyalah data, narasi, dan konteks.
Di sinilah muncul peluang besar: menilai Soeharto bukan dengan emosi, tetapi dengan rasionalitas historis—bukan dengan dikotomi baik atau buruk, tetapi dengan pertanyaan yang lebih substansial:
“Apa yang berubah dalam tubuh negara akibat kepemimpinan Soeharto, dan sejauh mana perubahan itu masih kita rasakan hari ini?”
Kebijakan yang Tak Terlihat, Namun Kita Nikmati
Banyak hal yang dianggap “alami” oleh Gen Z sejatinya adalah produk kebijakan yang dirancang puluhan tahun lalu.
Puskesmas, misalnya—hadir di hampir setiap kecamatan—bukanlah warisan budaya, melainkan kebijakan negara yang dimulai sejak 1969 untuk membawa pelayanan kesehatan hingga ke desa.
Demikian pula Posyandu, yang hingga kini menjadi titik temu para ibu dan balita untuk imunisasi dan edukasi gizi. Itu bukan hasil spontanitas masyarakat, tetapi hasil desain sosial Orde Baru yang menekankan kesehatan preventif.
Tradisi perencanaan pembangunan nasional juga merupakan jejak Soeharto yang masih lestari. Dari Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) lahir konsep RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang kini menjadi dasar kerja pemerintah setiap periode. Tanpa kerangka itu, pembangunan nasional bisa terjebak pada politik jangka pendek yang serba reaktif.
Hal serupa berlaku untuk pendidikan. Pada masa Soeharto, pembangunan sekolah berlangsung masif, membuka akses bagi anak-anak di desa untuk mengenyam pendidikan dasar tanpa harus berpindah kota. Generasi inilah—para orang tua Gen Z—yang menjadi fondasi mobilitas sosial Indonesia modern. Dengan kata lain, Gen Z adalah generasi yang hidup dari investasi kebijakan masa lalu yang dirancang secara sistemik.
Dari Relevansi Struktural ke Kelayakan Kepahlawanan
Ketika wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kembali mengemuka, perdebatan publik sering terjebak dalam dua ekstrem: glorifikasi dan demonisasi. Padahal, Undang-Undang dengan jelas menyebutkan bahwa kriteria kepahlawanan diukur dari jasa yang berdampak luas dan berkelanjutan bagi bangsa.
Jika menggunakan ukuran itu, Soeharto menorehkan warisan yang nyata—bukan dalam bentuk kultus individu, tetapi dalam struktur negara yang bertahan lintas generasi:
Sistem kesehatan dasar yang merata,
Infrastruktur pendidikan yang menjangkau desa,
Tradisi perencanaan pembangunan jangka panjang,
Integrasi nasional yang mengikat wilayah-wilayah Nusantara dalam satu kesatuan politik.
Gen Z hari ini tidak mewarisi Orde Baru sebagai ideologi, melainkan mewarisi negara yang fungsional—dengan lembaga, sistem, dan infrastruktur yang sebagian besar dibentuk di era Soeharto.
Mengakui Tanpa Mengkultuskan
Mengakui jasa bukan berarti menutup mata terhadap kekeliruan. Begitu pula, mengingat kritik bukan berarti menolak penghargaan. Kedewasaan sejarah menuntut kita untuk memegang keduanya sekaligus.
Objektivitas bukanlah penghapusan ingatan, melainkan kemampuan menimbang dengan nalar. Dan di titik inilah, generasi muda dapat memainkan peran paling penting: membaca ulang sejarah tanpa romantisme, tanpa trauma, tetapi dengan kesadaran kebangsaan.
Soeharto, dengan segala paradoks dan kompleksitasnya, adalah bagian dari perjalanan panjang republik ini. Menimbang jasanya bukan berarti menulis ulang sejarah, melainkan menulisnya dengan cara yang lebih jujur dan berimbang.
Dalam perspektif itu, layak kiranya kita bertanya:
Apakah fondasi negara yang menopang kehidupan kita hari ini bukan bagian dari jasa kebangsaan yang seharusnya diakui?
Karena sejarah sejatinya bukan soal siapa yang sempurna, tetapi siapa yang meninggalkan jejak yang tetap bekerja bagi bangsanya.

