![]()
Penulis: Agus Yusuf Ahmadi, S.H., M.H
OPINI, Perdebatan tentang kemungkinan Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tidak sekadar menyentuh ranah politik atau moral, tetapi juga dimensi historis tentang bagaimana hubungan antara negara dan umat Islam dikonstruksi dalam masa kepemimpinannya. Di balik figur yang sering dibaca dengan beragam tafsir itu, Soeharto menyimpan jejak kebijakan yang secara fundamental mengubah posisi Islam dalam struktur kenegaraan Indonesia.
Pada awal Orde Baru, negara menempatkan stabilitas sebagai mantra utama. Indonesia baru saja keluar dari turbulensi ideologis dan politik yang nyaris meretakkan fondasi bangsa. Dalam konteks itu, kontrol negara terhadap ekspresi politik berbasis agama menjadi langkah yang—meski terasa keras—merupakan pilihan strategis untuk menjaga integrasi nasional.
Namun sejarah tidak berhenti pada satu fase. Soeharto adalah politisi yang memahami arah angin zaman. Memasuki pertengahan 1980-an, paradigma kekuasaannya terhadap Islam berubah secara signifikan. Negara mulai melihat bahwa umat Islam bukan sekadar mayoritas demografis, melainkan kekuatan moral, intelektual, dan sosial yang harus diintegrasikan dalam bangunan kebangsaan. Dari pendekatan kontrol, Soeharto beralih pada pendekatan integratif.
Transformasi ini tidak lahir dari retorika, melainkan dari serangkaian kebijakan konkret yang membuka ruang partisipasi umat dalam ranah pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan. Inilah fase di mana Islam tidak lagi diperlakukan sebagai entitas yang perlu dikelola dari luar, tetapi sebagai bagian integral dari nation building Indonesia modern.
Kelembagaan Umat dan Mobilitas Sosial Baru
Salah satu tonggak penting integrasi itu adalah pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990, di bawah kepemimpinan B.J. Habibie. Melalui ICMI, cendekiawan Muslim memperoleh akses ke ruang-ruang strategis pengambilan kebijakan negara. Sebelum itu, dunia teknokrasi dan birokrasi tinggi didominasi kelompok yang lebih dahulu menikmati pendidikan modern Barat. Kehadiran ICMI mengoreksi ketimpangan historis tersebut dan melahirkan generasi intelektual Muslim yang percaya diri, produktif, dan nasionalis.
Tak berhenti di situ. Tahun 1991 lahir Bank Muamalat Indonesia, bank syariah pertama yang menjadi simbol pengakuan negara terhadap aspirasi ekonomi Islam. Kebijakan ini bukan gestur politik sesaat, tetapi fondasi sistemik yang menempatkan prinsip-prinsip syariah sebagai bagian sah dari sistem ekonomi nasional. Kini, Indonesia berdiri sebagai salah satu dari lima negara dengan industri keuangan syariah terbesar di dunia—jejak yang jelas bersambung ke masa Soeharto.
Lalu, pada 1989, lahirlah UU Peradilan Agama, sebuah tonggak penting yang melegitimasi hukum Islam dalam struktur hukum nasional. Peradilan agama tidak lagi bersifat administratif, melainkan menjadi bagian resmi dari kekuasaan kehakiman. Ini bukan sekadar pengakuan formal, tetapi peneguhan konstitusional terhadap martabat hukum Islam di tanah air.
Integrasi Islam dan Kelayakan Kepahlawanan
Menilai Soeharto dari relasi kekuasaannya dengan Islam tidak bisa dilakukan secara hitam-putih. Ya, terdapat fase pembatasan dan pengendalian politik. Namun, pahlawan tidak dinilai dari ketiadaan cela, melainkan dari kontribusinya yang melampaui batas waktu dan memberi arah bagi sejarah bangsa.
Warisan Soeharto terhadap Islam adalah warisan struktural: integrasi umat ke dalam negara, pelembagaan aspirasi keumatan, tumbuhnya kelas menengah Muslim profesional, hingga penguatan sistem pendidikan dan ekonomi santri. Semua ini membentuk ekosistem sosial-politik baru yang menopang stabilitas nasional hingga hari ini.
Maka, ketika kita berbicara tentang kelayakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, bukan berarti menutup mata terhadap kritik, tetapi berupaya menilai dengan kebijaksanaan sejarah. Mengakui jasa tidak berarti menghapus luka; mengingat kekurangan tidak berarti menolak penghargaan.
Bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mampu melihat sejarah dengan pandangan jernih, bukan dengan dendam emosional atau romantisme buta. Dalam ukuran kontribusi yang membentuk arah umat dan negara, Soeharto—dengan segala kompleksitasnya—layak dipertimbangkan sebagai figur yang memberi arah strategis bagi integrasi Islam dalam arsitektur kebangsaan Indonesia.

