Birokrasi yang Tersandera: Politisasi Jabatan dan Kemunduran Kinerja Pemerintah Daerah

Birokrasi yang Tersandera: Politisasi Jabatan dan Kemunduran Kinerja Pemerintah Daerah

Loading

Endi Herujanto, S.Pd., MM

(Penulis: Dewan Penasehat AWPI DPC Surakarta)

OPINI, Setiap pergantian kepala daerah kerap disertai dengan “gelombang mutasi” pejabat di berbagai dinas. Secara normatif, rotasi jabatan merupakan bagian dari dinamika organisasi yang sah, bertujuan menyegarkan birokrasi dan meningkatkan efektivitas kinerja. Namun, persoalan muncul ketika pergantian tersebut tidak lagi berlandaskan pada prinsip profesionalitas dan kompetensi, melainkan pada loyalitas politik. Di sinilah politisasi birokrasi menemukan bentuk paling nyata dan merusak.

Fenomena ini memperlihatkan masih kuatnya tarik-menarik kepentingan politik di tubuh birokrasi daerah. Pejabat yang dianggap dekat dengan kepala daerah baru kerap mendapat promosi, sementara yang tidak dianggap loyal justru dipinggirkan. Akibatnya, muncul suasana kerja yang tidak sehat—dipenuhi kecemasan dan ketidakpastian. Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi lebih berhati-hati, bahkan memilih bersikap pasif agar tidak terseret arus politik praktis. Birokrasi yang seharusnya menjadi mesin profesional, berubah menjadi arena kompromi kekuasaan.

Dampaknya tidak berhenti di internal pemerintahan. Dari sisi pembangunan, politisasi birokrasi membuat kesinambungan program terancam. Banyak kebijakan dan proyek yang terhenti hanya karena dianggap “warisan” dari kepemimpinan sebelumnya. Padahal, masyarakatlah yang menanggung akibat dari terputusnya kontinuitas program publik. Prinsip good governance yang menekankan efisiensi, akuntabilitas, dan keberlanjutan menjadi sulit terwujud.

Dalam pelayanan publik, perombakan jabatan tanpa mempertimbangkan kompetensi berpotensi menurunkan kualitas layanan. Pejabat yang belum memahami bidang tugasnya memerlukan waktu adaptasi, sementara masyarakat tetap membutuhkan pelayanan cepat dan tepat. Ketika jabatan menjadi alat balas budi politik, maka profesionalisme ASN tergerus dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ikut menurun.

Idealnya, birokrasi daerah harus dijaga tetap netral, profesional, dan berbasis meritokrasi. Jabatan publik seharusnya diberikan kepada ASN yang berprestasi dan memiliki kompetensi, bukan yang memiliki kedekatan politik. Kepala daerah mesti menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan politik jangka pendek.

Memperkuat sistem merit, mempertegas peran Komisi ASN, serta meningkatkan transparansi dalam proses mutasi dan promosi jabatan menjadi langkah penting untuk menutup celah politisasi. Dengan birokrasi yang netral dan stabil, pemerintahan daerah akan lebih fokus pada pelayanan masyarakat, bukan pada pertarungan kekuasaan.

Hanya dengan birokrasi yang bebas dari intervensi politik, pembangunan daerah dapat berjalan berkesinambungan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah kembali pulih.