![]()
Endi Herujanto, S.Pd,. M.M
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Etika Pemerintahan)
OPINI, Belakangan publik Sragen ramai memperbincangkan kebijakan mutasi pejabat yang dilakukan oleh Bupati Sragen. Salah satu keputusan yang menjadi sorotan adalah penurunan jabatan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Prihantomo, yang kini kembali menjadi guru.

Bagi banyak kalangan di dunia pendidikan, keputusan ini terasa mengejutkan. Sebab, Prihantomo dikenal memiliki kinerja baik, berintegritas, dan mampu menjaga stabilitas sektor pendidikan di daerah. Maka wajar jika muncul pertanyaan: apa alasan di balik keputusan tersebut? Apakah semata penyegaran organisasi, atau ada hal lain yang tidak dikomunikasikan secara terbuka kepada publik?
Kewenangan Bupati dan Prinsip Meritokrasi
Dalam sistem pemerintahan, mutasi pejabat adalah hal wajar. Kepala daerah memang memiliki kewenangan untuk merotasi, mempromosikan, atau menurunkan pejabat sesuai kebutuhan organisasi. Namun, kewenangan itu tidak bersifat mutlak.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan bahwa setiap keputusan pengisian jabatan harus berlandaskan sistem merit yakni, menilai dan menempatkan seseorang berdasarkan kemampuan, kinerja, dan kompetensi, bukan kedekatan personal atau kepentingan politik.
Dengan demikian, jika penurunan jabatan dilakukan tanpa evaluasi kinerja yang transparan dan objektif, maka keputusan tersebut bisa dianggap menyimpang dari semangat meritokrasi. Apalagi, publik menilai pejabat yang bersangkutan berkinerja baik dan tidak memiliki catatan pelanggaran fatal.
Etika Pemerintahan: Antara Moral dan Kekuasaan
Mutasi jabatan bukan hanya perkara administrasi, tetapi juga ujian moral bagi pejabat publik. Menurunkan seseorang dari jabatan tinggi ke posisi dasar tanpa alasan yang jelas dapat dimaknai sebagai bentuk “hukuman terselubung”.
Padahal, etika pemerintahan menuntut agar setiap keputusan publik memenuhi tiga prinsip utama:
1. Keadilan: Setiap ASN diperlakukan sesuai prestasi dan kontribusinya.
2. Transparansi: masyarakat berhak mengetahui dasar pertimbangan kebijakan publik.
3. Profesionalisme kebijakan diambil demi kepentingan pelayanan publik, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Jika tiga prinsip ini diabaikan, maka keputusan apapun meskipun sah secara hukum akan kehilangan legitimasi moral di mata masyarakat. Etika publik sejatinya menjadi jiwa dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dampak Psikologis dan Institusional
Dalam birokrasi, moral kerja aparatur adalah modal utama. Ketika pejabat berintegritas diturunkan tanpa penjelasan rasional, hal itu bisa menimbulkan demotivasi di kalangan ASN. Mereka bisa berpikir bahwa kinerja dan dedikasi tidak menjamin perlindungan karier.
Lebih jauh, masyarakat juga dapat kehilangan kepercayaan pada netralitas dan profesionalitas birokrasi. Di sektor pendidikan, hal ini berisiko mengganggu stabilitas kebijakan dan menurunkan semangat para pendidik yang selama ini melihat pimpinan mereka sebagai figur teladan.
Transparansi sebagai Solusi
Untuk menjaga kepercayaan publik, Pemerintah Kabupaten Sragen sebaiknya memberikan penjelasan terbuka mengenai dasar keputusan tersebut. Penjelasan itu bukan semata untuk membenarkan langkah yang sudah diambil, melainkan untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah tetap berpegang pada prinsip keadilan dan profesionalisme.
Langkah ini juga penting agar masyarakat dan ASN memahami bahwa mutasi bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan bagian dari strategi peningkatan kinerja organisasi.
Di sisi lain, pejabat yang merasa dirugikan berhak meminta klarifikasi atau menempuh mekanisme hukum melalui Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atau Ombudsman RI, agar prinsip merit dan keadilan administrasi benar-benar ditegakkan.
Penutup: Cermin bagi Birokrasi Daerah
Kasus penurunan jabatan Kepala Dinas Pendidikan Sragen ini seharusnya menjadi cermin reflektif bagi semua daerah. Kekuasaan administratif tidak boleh digunakan tanpa pertimbangan moral dan profesional.
Mutasi yang dilakukan tanpa dasar obyektif hanya akan mencederai semangat reformasi birokrasi yang tengah dibangun pemerintah pusat yaitu menciptakan aparatur sipil negara yang berintegritas, kompeten, dan netral.
Pada akhirnya, yang diharapkan masyarakat bukan sekadar pejabat yang berganti, tetapi sistem pemerintahan yang transparan, adil, dan beretika.
Sebab, kekuasaan tanpa etika hanyalah jalan menuju ketidakadilan baru dan dalam dunia pendidikan, ketidakadilan itu bisa berdampak panjang bagi generasi yang akan datang

