Soeharto dan Kapasitas Negara: Antara Jasa, Luka, dan Ingatan Kolektif Bangsa

Soeharto dan Kapasitas Negara: Antara Jasa, Luka, dan Ingatan Kolektif Bangsa

Loading

Soeharto dan Kapasitas Negara: Antara Jasa, Luka, dan Ingatan Kolektif Bangsa

Penulis: Agus Yusuf Ahmadi, S.H., M.H

OPINI, Perdebatan tentang kelayakan Presiden Soeharto menerima gelar Pahlawan Nasional kembali memantik percakapan publik. Seperti biasa, masyarakat terbelah: ada yang memujinya sebagai arsitek pembangunan, dan ada yang mengingatnya sebagai simbol represi politik Orde Baru. Namun, perdebatan itu sering kali berhenti pada dua kutub emosional—puja dan benci—tanpa menengok secara jernih bagaimana warisan kebijakannya membentuk kapasitas negara modern Indonesia.

Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada 1966, Indonesia berada di ambang keruntuhan ekonomi. Inflasi menembus 652%, harga kebutuhan pokok melonjak, dan struktur birokrasi nyaris lumpuh. Dalam situasi kacau itu, ia memperkenalkan Repelita (1969)—Rencana Pembangunan Lima Tahun—yang menjadi tonggak sistem perencanaan nasional. Melalui penguatan Bappenas dan keterpaduan antara pusat–daerah, Soeharto membangun disiplin baru dalam tata kelola pemerintahan: negara sebagai perencana rasional. Dari sinilah embrio RPJMN dan mekanisme APBN modern Indonesia lahir.

Jejak Institusional yang Bertahan

Di sektor kesehatan, lahirnya Puskesmas (1969) dan kemudian Posyandu (1984) mengubah wajah pelayanan publik di desa. Pada awal 1990-an, tercatat lebih dari 7.200 Puskesmas dan 250 ribu Posyandu aktif di seluruh Indonesia. Dampaknya signifikan: angka harapan hidup meningkat dari ±47 tahun (1960) menjadi ±65 tahun (1995), sementara angka kematian bayi turun dari ±145 menjadi ±46 per 1.000 kelahiran hidup.

Di bidang demografi, Program Keluarga Berencana Nasional menurunkan Total Fertility Rate dari 5,6 anak per perempuan (1970-an) menjadi 2,5 (1999). Capaian ini diakui dunia melalui UN Population Award (1989). Secara ekonomi-sosial, keberhasilan ini menandai lahirnya kelas menengah baru, sekaligus mengubah struktur keluarga Indonesia secara mendasar.

Pembangunan infrastruktur—jalan nasional, pelabuhan, bandara, hingga jaringan listrik desa—memperkuat integrasi wilayah. Melalui program transmigrasi, sekitar 3,6 juta jiwa secara resmi dipindahkan antarpulau. Kritik terhadap dampak ekologis dan sosialnya tentu valid, tetapi secara geopolitik, program ini mempertegas kehadiran negara dan memperkuat rasa kebangsaan lintas pulau.

Bayang-Bayang Kekuasaan

Namun, keberhasilan itu tidak datang tanpa harga. Orde Baru juga identik dengan sentralisasi politik, represi terhadap oposisi, dan kolusi ekonomi di lingkar elite kekuasaan. Banyak luka sosial dan politik yang diwariskan. Tetapi, dalam penilaian kepahlawanan, parameter utamanya bukanlah ketiadaan cela, melainkan seberapa besar dampak kebijakan seseorang bagi keberlangsungan bangsa.

Pertanyaan populer seperti “Kalau Soeharto berjasa, mengapa Orde Baru tumbang?” sering kali gagal melihat kompleksitas sejarah. Runtuhnya kekuasaan bukanlah pembatalan jasa. Krisis Asia 1997–1998 mengguncang seluruh kawasan, termasuk Korea Selatan dan Thailand. Di Indonesia, krisis ekonomi berpadu dengan stagnasi politik, memunculkan gelombang reformasi. Namun menariknya, reformasi hanya mengganti sistem politiknya—bukan membongkar fondasi perencanaan, sistem kesehatan, dan birokrasi pembangunan yang dibangun Soeharto.

Dengan kata lain, negara pasca-Soeharto tetap bekerja dengan mesin yang dirakit di era Soeharto—sebuah paradoks yang menunjukkan betapa kuatnya warisan institusional Orde Baru.

Menilai dengan Kedewasaan Sejarah

Bangsa yang matang tidak menilai masa lalunya dengan amarah atau nostalgia, melainkan dengan keseimbangan moral dan intelektual. Mengakui jasa bukan berarti menghapus kesalahan, sebagaimana mengingat kesalahan tidak berarti menolak jasa.

Dalam kerangka itu, Soeharto layak dibaca bukan sekadar sebagai penguasa 32 tahun, tetapi sebagai arsitek kapasitas negara modern Indonesia. Ia membangun infrastruktur administratif yang hingga kini menopang jalannya republik.

Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menatap sejarahnya tanpa buta oleh glorifikasi dan tanpa beku oleh kebencian. Kita tidak perlu mengultuskan Soeharto, tapi juga tidak perlu meniadakannya.

Yang kita perlukan hanyalah kejujuran sejarah dan kedewasaan kebangsaan—dua hal yang, ironisnya, menjadi warisan paling langka dari masa Orde Baru.