Demokrasi Indonesia: Primitif, Bar-Bar, atau Cermin Rakyat yang Munafik?

Demokrasi Indonesia: Primitif, Bar-Bar, atau Cermin Rakyat yang Munafik?

Loading

STOP KORUPSI

Indonesia Primitif atau Dewasa dalam Demokrasi?, Antara Rakyat yang Menjual Suara dan Wakil Rakyat yang Membeli Kekuasaan, itulah fenomena yang terjadi di setiap kita melihat suguhan berita.

Setiap kali kita membaca berita tentang wakil rakyat yang diprotes, bupati yang didemo karena kebijakan, atau pejabat yang ditangkap karena praktik korupsi, refleks masyarakat biasanya sama: semua kesalahan ditimpakan pada pemegang jabatan. Wakil rakyat serakah, bupati rakus, pejabat kotor. Tetapi apakah sesederhana itu?

Jika kita jujur, demokrasi Indonesia sering berjalan dengan pola transaksional. Banyak rakyat masih mau menerima uang, sembako, atau janji pragmatis dari calon wakil rakyat. Pada saat pemilu, terang-benderang praktik politik uang seolah menjadi “ritual normal”. Padahal, di sinilah akar masalahnya. Rakyat yang menjual suaranya dengan imbalan sesaat sama saja sedang menandatangani kontrak tak tertulis: membolehkan wakilnya kelak “balik modal”.

Ketika kemudian wakil rakyat menuntut tunjangan lebih, atau pejabat mencari celah mengembalikan investasi politiknya, rakyat marah. Mereka turun ke jalan, menuding, memaki, bahkan menyebut wakilnya barbar. Padahal, apakah rakyat sendiri bersih dari praktik yang sama?

Di titik inilah pertanyaan besar muncul: apakah demokrasi kita sedang menuju kedewasaan, atau justru terjebak dalam pola primitif yang penuh barter dan suap?

Meritokrasi—yakni memilih pemimpin karena kapasitas, integritas, dan rekam jejak—menjadi sangat berat ditegakkan di Indonesia. Sebab sistem nilai di akar rumput belum sepenuhnya berpihak pada kejujuran dan kompetensi. Rakyat sering kali memilih “yang memberi” bukan “yang mampu”.

Maka, kritik terhadap pejabat publik tidak boleh berhenti pada permukaan. Tanggung jawab moral juga ada pada rakyat yang melanggengkan politik transaksional. Demokrasi sehat hanya bisa lahir jika rakyat berani menolak sogokan, dan wakil rakyat berani menjaga amanah.

Apakah Indonesia primitif? Tidak selalu. Tetapi demokrasi kita masih sering berjalan dengan logika primitif: siapa yang punya uang, dia yang berkuasa. Bar-bar? Ya, karena kebenaran dan etika sering dikalahkan oleh kepentingan praktis.

Mungkin sudah saatnya kita bercermin: jika wakil rakyat adalah cerminan rakyat, maka seberapa dewasa sebenarnya kita dalam berdemokrasi?

Opini|Redaksi

Overall Rating
5.0

Rating