Sertifikat Tanah Tukar Guling Pasar Kacangan Masih Menggantung, Warga Pertanyakan Kepastian Hukum Aset Desa

Sertifikat Tanah Tukar Guling Pasar Kacangan Masih Menggantung, Warga Pertanyakan Kepastian Hukum Aset Desa

Loading

BOYOLALI — Lebih dari satu tahun sejak warga Desa Kacangan, Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali, menggelar audiensi mempertanyakan tanah ganti kas desa untuk pembangunan Pasar Kacangan, persoalan tersebut belum juga menemukan titik akhir. Hingga Senin, 15 Desember 2025, sertifikat tanah hasil tukar guling lapangan desa yang kini berdiri pasar masih berstatus belum selesai.

Kondisi ini menguatkan kekhawatiran warga yang sejak awal menyuarakan pentingnya kepastian hukum atas aset desa. Dalam audiensi pada Rabu, 16 Oktober 2024 lalu, warga yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Aset Desa (FPMAD) secara terbuka menuntut kejelasan tanah pengganti lapangan desa yang dialihfungsikan menjadi Pasar Kacangan.

“Sudah enam tahun sertifikat belum terbit. Ini bukan soal administrasi biasa, tapi soal kepastian hukum aset desa,” kata seorang warga yang tak mau disebut namanya. Senin (15/12/2025).

Kini, lebih dari setahun berselang, persoalan yang sama kembali mencuat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Kacangan pada Senin (15/12/2025), sertifikat tanah pengganti tersebut masih belum rampung. Ia mengungkapkan bahwa proses pembuatan sertifikat mengalami hambatan serius setelah notaris yang menangani dokumen tersebut dikabarkan meninggal dunia.

“Kami mendapat informasi notarisnya meninggal. Sampai sekarang belum bisa memastikan kapan sertifikat itu selesai,” ujar Sekdes Kacangan.

Pernyataan tersebut menambah panjang daftar ketidakpastian yang menyelimuti proses tukar guling aset desa. Padahal, dalam audiensi 2024 lalu, Pjs Kepala Desa Kacangan, Sugiman, telah menyatakan komitmennya untuk meneruskan aspirasi warga secara berjenjang hingga tingkat kabupaten, serta menyampaikan rencana pembangunan lapangan pengganti melalui Dana Desa pada tahun 2025.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa persoalan inti—yakni legalitas tanah pengganti—belum juga terselesaikan. Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana keseriusan dan pengawalan pemerintah desa serta pemerintah di atasnya dalam memastikan aset desa terlindungi secara hukum?

Bagi warga, sertifikat bukan sekadar lembar dokumen, melainkan jaminan bahwa aset desa tidak hilang dalam pusaran birokrasi dan kelalaian administrasi. Tanpa sertifikat, tanah pengganti berada dalam posisi rentan, dan desa berpotensi menanggung risiko hukum di masa depan.

Apa yang terjadi di Desa Kacangan menjadi cermin persoalan klasik pengelolaan aset desa: lambannya administrasi, minimnya kepastian hukum, dan lemahnya komunikasi perkembangan kepada publik. Selama kejelasan itu belum diberikan, keresahan warga akan tetap ada—dan tuntutan akuntabilitas akan terus mengemuka.

Persoalan ini bukan lagi soal masa lalu, melainkan ujian nyata bagi tata kelola aset desa hari ini dan ke depan.

Liputan|Redaksi