By Anton Christanto
OPINI – Politik Sandera untuk memenangkan PILKADA 2024 dan menjatuhkan calon kepala daerah PDIP sebagai partai penguasa di Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya selama 10 tahun, sedang terjadi di mana mana.
Belakangan ini, jelang gelaran pilkada serentak, mencuat di ruang publik perihal politik sandera, tentu dengan beragam argumennya yang mengindikasikan adanya penyanderaan kepentingan demi meraih tujuan.
Contoh kasus Politik Sandera ;
Menjelang Pilkada 2024 di kabupaten Boyolali, Pejabat Birokrasi dan Perangkat Desa di Wilayah Kabupaten Boyolali diduga tersandera oleh kasus kasus KPK. Sehingga banyak yang ketakutan sehingga para birokrat dan perangkat desa memilih langkah aman dengan mendukung calon dari partai pemenang pileg DPR RI dan pilpres 2024 dalam pilkada 2024
Bukti2 bisa didapatkan dari deklarasi terhadap calon bupati & wakil bupati, dukungan baik secara implisit maupun terbuka di sosial media tiktok, Instragram dan status WA yang sudah viral di berbagai WA Group.
Hal tersebut Dapat dipahami, karena dalam dunia politik dikenal dengan istilah ‘siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya..’
Berbagai kemungkinan diproyeksikan untuk mencapai tujuan politik. Wajar saja, karena politik dalam konteks praktik adalah seni untuk mencari kemungkinan yang terbaik, the art of possibility, seni untuk mencari berbagai kemungkinan.
Dalam kontestasi pemilu, itu cara untuk memenangkan pemilu, begitu juga dalam pilkada dengan tujuan memenangkan kadernya, pasangan yang diusung menjadi kepala daerah.
Kalau strategi yang dibangun masih dalam kerangka siapa dapat apa, kapan dan bagaimana caranya, dalam dunia politik bisa dikatakan bukankah hal yang baru dan tabu.
Tetapi menjadi menciderai demokrasi, jika sudah melakukan politik kotor dan culas. Politik sandera, salah satu di antaranya. Ini pun masih dapat dipahami, jika sandera yang dilakukan demi keuntungan bersama, tidak merugikan salah satu pihak.
Menjadi tidak pantas, melanggar etika demokrasi, jika menyandera kepentingan lawan politik dengan menggunakan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak – pihak yang berseberangan.
Publik sudah dapat memahami lebih rinci, apa yang dimaksudkan dengan instrumen hukum, karena hal semacam ini acap terjadi.
Fenomena politik sandera, dalam artian adanya tarik ulur kepentingan ataupun saling mencari keuntungan, sejatinya bukan hal yang baru.
Dua tahun jelang pemilu lalu, yang disebut tahun politik, tarik ulur kepentingan sudah terjadi dan ditengarai akan terus terjadi pada momen tertentu, di antaranya jelang kontestasi politik.
Kini, beragam istilah politik mencuat, di antaranya politik sandera tak lepas dari buah dinamika praktik politik jelang pilkada.
Kita tahu, saat sekarang ini praktik demokrasi,termasuk kiprah partai politik sedang disorot publik. Ini wajar saja karena jelang pilkada peran partai politik sangat menentukan dalam mengantar calon kepala daerah.
Atraksi politik parpol beserta para elite dan petingginya dalam menyikapi situasi akan mudah terekam oleh publik. Termasuk ketika memutuskan mengusung pasangan calon kepala daerah, akan terbaca oleh publik ke mana arah tujuan dan latar belakangnya, meski yang tahu persis adalah parpol itu sendiri.
Publik hanya menduga dan menganalisa sebagai salah satu bekal dalam menentukan sikap pada pilkada kelak. Jika pasangan calon sesuai ekspektasi, akan mendukungnya, kalau tidak, boleh jadi akan mengalihkan dukungan.
Praktik Politik Sandera ini dapat merusak institusi penegak hukum.
“Alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu”
Dalam Politik Nasional, Istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan.
Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik.
Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum
Akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam pada relasi antara elite politik dan kekuasaan (Pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah/pemda, jajaran birokrasi & perangkat desa)
Keterlibatan elite dalam praktik korupsi dapat menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial. Hal ini juga terjadi di tingkat propinsi, kabupaten/Kotamadya, Kecamatan sampai Desa/Kelurahan.
Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum.
Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya.
Penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, keberhasilan penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.
Penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi ialah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi diberbagai wilayah NKRI.
Praktik politik sandera merusak demokrasi karena praktik tersebut mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite penguasa.
“Politik sandera yang dijalankan oleh para penguasa didorong oleh budaya korupsi yang merajalela di kalangan elite partai politik, jajaran birokrasi dari tingkat pusat sampai desa”
Secara struktural, ditingkat nasional, kehidupan politik di Indonesia sangat rentan terhadap praktik korupsi. Hal ini menjadi bumerang bagi partai politik itu sendiri dan menciptakan ketakutan di kalangan elite politik untuk melawan penguasa.
Untuk itu, negara membutuhkan upaya penyelamatan revolusioner dari pemimpin-pemimpinnya, termasuk para elite hukum dan presiden. “Diperlukan sikap moral yang tegas dari pemimpin untuk membela penegakan hukum dan antikorupsi, agar negeri ini tidak terus dibajak oleh para elite korup dan busuk”
Siapa yang menggunakan instrumen hukum, lazimnya yang memiliki kekuasaan atau memiliki pengaruh terhadap kekuasaan, setidaknya dapat mempengaruhi kebijakan kekuasaan.
Ini yang kemudian disebut kompromi politik saling menguntungkan, di satu sisi perkaranya aman, paling tidak untuk sementara waktu, di pihak lain untuk memperluas dukungan politik dan kekuasaan, saat sekarang dan masa depan.
Politik sandera tidak selamanya buruk, jika digunakan justru untuk mencegah monopoli dan dominasi kekuasaan, mencegah hal-hal buruk bagi kehidupan rakyat.
Jika menggunakan strategi untuk memuliakan tujuan politik, memajukan bangsa dan negara, mensejahterakan seluruh rakyat.
Tanpa adanya perbedaan perlakuan, tanpa menekan, tanpa intimidasi, tanpa pula memaksakan kehendak karena kekuasaannya.
Bahkan sebaliknya, kekuasaan yang dimiliki dikembalikan untuk kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara, bukan pribadi, keluarga dan kerabatnya.
Jabatan dan kekuasaan baik di bidang eksekutif maupun legislatif adalah amanah rakyat, maka kembalikanlah kepada rakyat, dipergunakan sebaik-baiknya demi keadilan dan kemakmuran rakyat.
Contoh politik sandera di tingkat pusat cukup banyak, mulai dari yang samar-samar sampai yang jelas.
Para politisi yang semula oposisi mendadak balik badan 180 derajat menjadi koalisi penguasa yang memang mahir mendayagunakan politik sandera sebagai senjata pamungkas melumpuhkan oposisi.
Mereka yang masih punya prinsip jika ingin selamat minimal terpaksa tiarap demi membisu sambil menunggu nasib siapa tahu penguasa tidak lagi berkuasa.
Kemelut politik sandera bukan monopoli Indonesia sebab terbukti juga merajalela di Amerika Serikat pada masa kepresidenan korup Richard Nixon seperti dikisahkan di dalam film “Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House”.
Menakjubkan sekaligus mengerikan bagaimana pemerintah secara cermat dan seksama rajin menghimpun data dosa-dosa para oposisi yang kemudian ampuh digunakan sebagai senjata pamungkas politik sandera pada saat dibutuhkan.
Politik sandera sulit diberantas lewat jalur hukum sebab lebih bersifat etika yang hanya bisa dikendalikan oleh nurani sesuai kearifan terkandung pada tata krama ngono-yo-ngono-ning-ojo-ngono, yang justru lazim diabaikan oleh para praktisi politik sandera yang sakti-mandraguna.
Di Boyolali
Pejabat Birokrasi dari pegawai Pemda, camat sampai perangkat desa nanti juga akan tampak perubahan dukungannya dalam pilkada 2024 ; berubah 180 derajat.
Namun demikian, Pemenang Pilkada ditentukan oleh rakyat Boyolali bukan oleh pejabat birokrasi pemda. Kita lihat saja bagaimana rakyat Boyolali akan memilih siapa dalam pilkada 2024 nanti. Kita tunggu saja