Pergerakan KRI Teuku Umar-385 saat menghalau kapal Coast Guard Cina terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai di Laut Natuna, Sabtu, 4 Januari 2020. Tindakan yang dilakukan TNI masih bersifat persuasif dengan memperingati kapal Cina bahwa mereka sudah menerobos sekaligus menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna.ANTARA/M Risyal Hidayat
LINTASINDONEWS.com – Pergerakan KRI Teuku Umar-385 saat menghalau kapal Coast Guard Cina terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai di Laut Natuna, Sabtu, 4 Januari 2020. Tindakan yang dilakukan TNI masih bersifat persuasif dengan memperingati kapal Cina bahwa mereka sudah menerobos sekaligus menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna.ANTARA/M Risyal Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta – Terkait kejadian kapal Cina yang menerobos masuk perairan Natuna, pemerintah disarankan untuk tidak terburu-buru mengambil tindakan, khususnya dalam konteks perekonomian. Tindakan yang gegabah dikhawatirkan dapat memperburuk situasi bahkan tidak menguntungkan posisi Indonesia di mata internasional.
“Perlu diingat Cina adalah mitra dagang kita yang terbesar,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economy atau Core, Piter Abdullah, melalui pesan singkat kepada Tempo, Ahad, 5 Januari 2020.
Karena itu, pemerintah diminta berhati-hati dalam memprediksi langkah yang akan diambil Cina. Sebab, hal tersebut akan menjadi dasar strategi yang akan ditempuh Indonesia. Sejauh ini, Piter menilai langkah dan sikap pemerintah sudah tepat dalam menyikapi polemik dengan cina.
Senada dengan Piter, Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyarankan pemerintah tidak perlu membawa perkara itu ke ranah perekonomian. “Sebaiknya kita mengkarantina isu ini menjadi isu politik saja, jangan menjadi isu ekonomi,” tuturnya.
Fithra melihat, retaliasi atau aksi membalas dari segi perdagangan, akan berdampak lebih buruk dan memperkeruh keadaan. Pasalnya, Cina adalah salah satu partner dagang Indonesia, khususnya di sisi ekspor. Ekspor Indonesia, terpantau cukup besar ke Cina.
“Sangat tidak tepat melakukan retaliasi di perdagangan. Karena sekali kita masuk ke ranah itu, maka Cina bisa membalas lebih dalam lagi. Itu menurut saya bukan merupakan opsi,” tutur dia.
Badan Keamanan Laut atau Bakamla sebelumnya mengungkapkan adanya pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia, di perairan utara Natuna, pada Desember 2019. Bakamla menyebut kejadian ini bermula saat kapal penjaga pantai (coast guard) pemerintah Cina, muncul di perbatasan perairan.
“Pada 10 Desember, kami menghadang dan mengusir kapal itu. Terus tanggal 23 kapal itu masuk kembali, kapal coast guard dan beberapa kapal ikan dari Cina waktu itu,” kata Direktur Operasi Laut Bakamla Nursyawal Embun.
Nursyawal mengatakan, coast guard Cina menjaga beberapa kapal ikan yang sudah masuk di dalam ZEE Indonesia. Saat itu, keberadaan mereka diketahui oleh KM Tanjung Datu 301 milik Bakamla. Saat diusir, Nursyawal mengatakan kapal Cina menolak dengan beralasan mereka berada di wilayah perairan milik sendiri.
“Karena kita melihat dia ada dua kapal coast guard dan ada satu freegat (kapal perang), jadi kita hanya shadowing saja. Kita kemudian laporan le komando atas,” kata Nursyawal.
Pasca laporan Bakamla, pemerintah Indonesia melayangkan nota protes keras terhadap pemerintah Cina atas pelanggaran ini. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kementerian Luar Negeri Damos Dumoli Agusman menyebutkan nota protes yang disampaikan Indonesia terkait pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) oleh penjaga pantai Cina di perairan Natuna menunjukkan bahwa Indonesia menolak klaim negara tersebut.
Tempo.co
Editor: Rian
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (alenia pertama pembukaan UUD 1945)”