Penulis: Sugeng Rianto
Pegiat Media Sosial dan Pengamat Politik
Jika kita telusuri pilpres tahun 2019 sangat berbeda sekali dengan Tahun 2024, kenapa? Karena tahun ini banyak sekali muncul Generasi muda yang mulai tertarik dan terjun di dunia politik.
Gencarnya arus informasi melalui jaringan langit digital menjadi komoditas untuk menyuarakan aspirasi baik itu tekanan maupun rayuan. Jika dulu kecurangan dalam pilpres masih bisa di kamuflase dengan rapi dan nyaman, kini masyarakat yang beralih fungsi menjadi citizen jurnalism, yang mulai berani menampilkan kecurangan di dunia alam digital.
Bila dulu buzzer Bayaran cukup memberikan umpan yang menipu, menghasut dan mengadu domba, kini para buzzer harus berpikir keras. Masalahnya yang mereka lawan adalah mayoritas para Gen Z, yang saat ini sudah tergugah mendambakan capres dan cawapres dengan visi dan misi yang jelas untuk anak muda.
Bila berpolitik dengan cara kuno memukul bukan merangkul, seperti halnya yang telah viral di Boyolali, tidak menutup kemungkinan citizen jurnalism atau jurnalis wargalah yang akan berontak dan melawan, karena bagi orang tuanya yang menjadi korban kekejaman PDIP, akan melawan hingga banyak bertebaran di aplikasi media sosial dengan kata “ada banteng?? Usir dia aku mau hidup tenang!!,” yang di buat para konten kreator Gen Z.
Cara kuno brutal dan memalukan seperti itu akan banyak di tinggalkan para Gen Z, untuk itu presiden Jokowilah yang paham akan semua itu, ia rela mengorbankan namanya dengan mengikhlaskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres dari capres Prabowo Subianto, bukan karena kepentingan politik semata namun demi bangsa dalam menjaga persatuan.
Inilah Turbulensi politik yang di pakai oleh Jokowi, yang tahu betul akan masa depan bangsa. Jokowi berharap para capres dan cawapres saling memuji di forum terbuka selain menyuguhkan visi, misi, serta program kerja bermanfaat bagi mereka, bukan menghardik dan mencari kekurangan lawan yang berujung blunder.
Bila di kaji lebih dalam, anak muda punya peran strategis dalam kehidupan sosial politik negeri ini. Tak hanya menjadi kelompok pemilih terbanyak pada Pemilu 2024, anak muda juga merupakan penentu masa depan bangsa. Para calon pemimpin negeri tak cukup hanya mendekati, tetapi juga harus bisa memahami pendapat, gagasan, dan harapan generasi muda, bukan menjalani kultur feodal yang hanya patuh dan menunduk kepada para raja daerah.
Saat ini Indonesia ibarat mesin pembaca arah. Survei selalu menjadi titik tolak pergerakan politikus untuk mulai bekerja, berkontestasi, dan berkampanye, termasuk dalam Pemilihan Umum 2024. Bahkan tidak satu pun kandidat calon kepala daerah atau calon presiden yang berani dan percaya diri maju berkontestasi sebelum melihat hasil surveinya di masyarakat, itulah pengaruhnya dunia digital.
Bila saja para buzzer Bayaran yang lapar, tidak peka dan paham kemauan anak muda mereka akan di tinggalkan, bahkan yang menyewa merekapun juga akan meninggalkan pula. Karena dianggap tidak efektif dan tidak berhasil, sehingga muncul para gelandangan politik yang bertebaran, yakni PDIP hancur karena Jokowi, bila Jokowi senang dengan merangkul yang dulu lawanya, PDIP memukul lawan dengan cara menyerang bahkan menyerang pribadi, Gen Z akan lari dari politik kotor seperti itu.
Marilah kita amputasi dan marjinalkan politik memukul, menyeruduk, memfitnah dan menyerang pribadi. Hal seperti itu adalah cara yang sangat tidak disukai Gen Z. Masih mau berpolitik ala Majalengka, Sorong dan boyolali?? Yang ada nanti malah “ada banteng?? Usir dia!! Aku mau hidup tenang!!